Si Tua Bangka Mental Tempe!


"Mau pukul? Pukul aja pa, bunuh sekalian aku. Kenapa diam ayooo pukul". Ucapku dengan berteriak dengan derai air mata

"Pergi kau dari hadapanku anak jalang!". Ucap papa penuh penekanan yang terdiam dengan tangan yang siap memukulku.

"Huh, tidak punya nyali untuk membuhuh darah dagingmu sendiri, ?".

"Dasar mental tempe". Ucapku penuh penekanan dan esmosi yang membara 

"Apa kau tidak tau bahwa kau telah membunuhku se utuhnya. Aku hidup seperti mayat hidup yang tak memiliki arti dan tujuan. Aku Cacat ! Aku lahir dari keluarga yang tak pernah sama sekali aku inginkan". Aku berteriak membuat mama menangis menilai pertengkaranku dengan papa. Namun ia di peluk oleh kaka perempuanku. 


Papa hanya termenung, diam dan terpaku. Tak ada pukulan atau sebuah tamparan yang aku terima. Hanya umpatan kecil yang selalu aku terima. 

Dan pada akhirnya aku mengeluarkan seluruh emosiku dalam satu kalimat yang tajam.

" Dasar tua bangka tidak tau diri, enyah kau dari hadapanku. Pergi dan jangan ganggu hidupku lagi". Aku berkata dalam satu tarikan nafas

Sebuah tamparan keras aku dapatkan. Bukan dari papa, melainkan dari mama yang berusaha menenangkanku. Sementara papa sudah pergi ke luar rumah. 

Aku diam dan tak bersuara. Hanya air mata yang terus menetes tanpa henti. 

*******

Aku terbangun ketika usapan hangat melerai rambutku yang berpadu dengan air mata yang basah. Mataku sembab akibat menangis terlalu lama dan suaraku menjadi parau dan sekaan hilang. 

Tak ada yang terucap saat mataku terbuka. Aku sudah ada di sebuah mobil milik tante. Adik dari mama. 

Sesekali tante melihatku dan mengelus rambutku dengan penuh kasih sayang. Namun aku acuh, mataku hanya tertuju pada suasana di luar kaca mobil. Tatapanku kosong. Sesekali air mataku menetes dalam diam. 

Sampai si rumah tante. Aku masuk dan langsung membaringkan tubuhku di sofa. Om datang menyambutku. Dan ketika Om menyakanan sesuatu 

" Kenapa Je?"

Sontak aku histeris dan menangis kencang.
Tante yang tahu masalahku langsung menenangkan dan memarahi om. 

" jangan banyak bertanya, cukup diam dan perhatikan. Nanti aku akan ceritakan pa". Ucap tante kepada om penuh syarat.

Aku kemudian di bawa ke kamar di di suruh untuk ber istirahat. Lalu tante pergi meninggalkanku. 

" Ya Tuhan pa, dia itu anak barusia 12 tahun. Bagaimana bisa ia begitu berani bertengkar dengan ayahnya yang sedikit gila itu". Ucap tante dengan memijit pelipis matanya. 

" Buah jatuh takan jauh dari pohonnya. Memang ada apa lagi?".

"Ceritanya panjang pa, Jeje harus tinggal dengan kita. Dia terlalu membenci ayahnya dan tidak bisa akur". 

"Lalu mba mu bagaimana?, apa dia mengizinkan?"

"Masa bodo dengan mba, aku sudah menyerah. Itu pilihannya untuk tetap dengan mas Arya. Yang penting jeje sekarang ikut dengan kita pah. Dia itu anak cerdas. Kasihan kalau dia tumbuh di lingkungan yang seperti itu". 

"Oke oke. Alfian juga pasti senang kalau ada temannya".


Ke esokan harinya aku merasa kepalaku seperti berputar. Pusing sekali. Dan untuk pertama kalinya aku membolos sekolah. 

Aku keluar kamar dan menuju dapur. Aku sudah tau seluk beluk rumah ini karena ketika usiaku 4 tahun aku juga tinggal disini karna mama kerja. Aku di rawat oleh tante sampai masuk Tk kemudian aku tinggal kembali bersama mama. 

"Je". Ucap tante yang melihatku sedang meneguk air putih di samping kulkas. Aku hanya melirik dan tidak bersuara. 

"Sekarang tinggal dengan tante ya, kamu nanti pindah sekolah bareng dengan Alfian saja. Biar enak antar jemputnya. Soal mama kamu biar nanti tante yang bicara". 
Ucapnya lembut menenangkan

" Iya tante, aku minta tolong. Aku gak mau ketemu dengan siapapun dulu. Aku pengen sendiri. Kalo mama atau papa atau kakaku yang lain ingin bertemu tolong beritahu aku tidak ingin bertemu dengan mereka". Ucapku hanya menunduk menahan tangis. 


Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Biografi " Pemilik Mahkota Ratu dari Surga"

Air putih atau teh dan kopi?

Kecewaku tak berujung "simpang jalan part I"